Ketua Umum GPBSI Djonny Syafruddin

"Bioskop Akan Mati, Tidak Main-main"

Djonny Syafrudin
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews - Sejumlah bioskop mendadak sepi pengunjung setelah Motion Picture Association of America (MPAA) menghentikan impor film ke Indonesia sekitar Februari lalu. Kondisi ini terekam dalam data Dinas Pendapatan Daerah Jakarta yang menunjukkan, pendapatan bersih pajak hiburan khusus dari bioskop mencapai Rp3,9 miliar pada Januari lalu. Namun, setelah penghentian film MPAA, angka tersebut turun hampir 60 persen, menjadi Rp1,8 miliar di bulan Juni.

DPP Berani Ungkap Indonesia sedang Dilanda Krisis Paling Berbahaya

Melihat fakta tersebut, para pengusaha bioskop Tanah Air pun khawatir tak sanggup bertahan. Bahkan, industri bioskop diprediksi akan mati apabila film-film MPAA tak kunjung masuk Indonesia hingga Lebaran ini. Setidaknya itulah yang dikatakan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin.

Berikut adalah petikan wawancara VIVAnews dengan Djonny Syafruddin saat ditemui di kediamannya:

Prediksi Semifinal Piala FA: Coventry City vs Manchester United

Bagaimana awal mula terbentuknya GPBSI?

Ini berganti nama terus, dahulu namanya OPS. Dahulu di zaman Bung Karno kan ada penggabungan dari pengusaha-pengusaha, asosiasi-asosiasi itu pakai OPS. Terus jadi Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, terus jadi Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia lalu Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia di tahun 1960-an lah. Jadi ya 50 tahunan lebih lah usianya, kalau GPBSI-nya ya.

Rumah di Bangkalan Hancur Usai Petasan Meledak, 3 Orang Jadi Korban

Kalau bioskop di Indonesia kan sudah 110 tahun. Pertama di Tanah Abang kita ada bioskop. Setelah Perancis, 5 tahun kemudian ada di Indonesia, tapi film-film bisu. Dahulu di bawah Belanda, makanya dikategorikan sebagai barang mewah. Makanya pajaknya 33 1/3 persen. Itu digolongkan sebagai barang merah. Itu berlangsung lama. Mulai mencairnya sekitar tahun 80-an lah, turun 28 persen, 25 persen.

Kalau dahulu namanya pajak tontonan kemudian sekarang pajak hiburan, itu 30 persen itu terus turun, tapi tidak merata turunnya. Sekarang di Medan masih tinggi 30 persen, Jakarta sudah turun jadi 10 persen, Jawa Barat juga 10 persen, banyak yang sudah 10 persen. Karena otonomi daerah, kebijakan (pajak hiburan) ini diserahkan ke daerah masing-masing.

Nah sistemnya, pajak ini harus dibayar dulu, lalu kita dikasih karcis oleh Dinas Pendapatan Daerah, lalu kita jual ke penonton. Kalau sudah mau habis, ambil lagi, bayar dahulu, bayangin tuh.

GPBSI itu anggotanya ada berapa perusahaan?

Dahulu seluruh Indonesia ya, ada semua dari tahun 60-an sampai 80-an akhir. 90-an awal sudah mulai tutup satu persatu, sehingga keanggotaannya menyurut dari 28 provinsi, yang terakhir tinggal 19 provinsi dari 33 provinsi. DPC sudah bisa dikatakan nggak ada, jadi tinggal DPD di 19 provinsi.

Berapa total jumlah bioskop di Indonesia saat ini?

640 layar, 210 bioskop. Yang tadinya tahun 90 itu bioskop 3.600, layarnya 6.000 lebih. Setelah itu terjadi teknologi informasi pesat. Ada video dan lain-lain masih tidak begitu masalah-lah ya. Mulai bermasalah itu ketika RCTI buka decoder-nya, ya biasalah untuk promo, film-film bagus banyak yang ditayangkan mulai menurun penontonnya. Diperparah lagi dengan TV swastanya tambah banyak, filmnya ditayangkan di TV. Kemudian dari VCD masuk lagi DVD, semua film-film dibajak, dilempar dengan harga murah ke masyarakat. Nah di situlah segmen menengah ke bawah terpangkas. Sangat drastis, turun total. Bioskop turun dari sekian ribu jadi 200-an.

Jadi sebenarnya, bioskop ini nggak bahagia juga. Pernah menjadi andalan market film nasional kita, dihujat juga, mati nggak ada yang menolong, sakit didiamkan. Itu nasibnya. Tapi kalau dilihat orang luar kan seolah-olah glamor, padahal nggak. Kalau punya bioskop banyak, rugi di situ, ditutup dengan yang lain.

Bagaimana kondisi industri bioskop di Indonesia saat ini?

Kita susah memberikan pemahaman di Indonesia, film ini mau masuk ke ranah apa sih? Jangan abu-abu lah, jangan apa-apa budaya. Yang benar ini industri, yang harus dikelola dengan baik dan profesional. Nah di dalamnya ada budaya, bukan sebaliknya. Itu kita keliru, mindset kita harus diubah. Berpikir dari pra-produksi sampai distribusi, distribusi juga harus dibetulkan. Jangan asal bilang, oh itu monopoli, 21 monopoli. Begitu dibuktikan ke KPPU, ternyata nggak kok.

Apakah orang dilarang bikin bioskop banyak? Nggak ada larangan untuk membuat bioskop sebanyak apapun. Justru itu menguntungkan pasar perfilman kita. Ini yang saya katakan bahwa pasar harus diperbaiki. Mengenai standar kenyamanan dan sebagainya diperluas.

Saya sudah kirim draftnya ke Pak Menteri tiga bulan yang lalu, namanya tata edar. Semuanya ada di UU No 33/2009 tentang Perfilman. Zaman dahulu itu, GPBSI dan Persatuan Produser kita diminta bikin tata edar dan badan hukum, dibikinlah yaitu PT Perfin (Perusahaan Peredaran Film Indonesia). Itu dicukai 5 persen. Yang menjalankan independen. Nah itu berlangsung beberapa tahun, ternyata sampai ke daerah-daerah. Karena pendapatan dikenakan 5 persen dari hasil, jadi itu tidak sukses juga. Sekarang ada UU baru, diamanahkan harus buat peraturan menteri tentang tata edar. Kita sebagai pelaku, stake holder, memberikan masukan dengan produser, itu sudah  4 bulan kan. Itu nggak gampang karena banyak kepentingan.

Sehingga dengan persoalan yang kemarin ini, belum selesai ya permasalahan. Keluarkan tata edar dan tentukan, sehingga orang punya kepastian bisnis, sebagai pemilik film maupun calon investor bioskop. Kalau supply-nya jelas dan dianggap memadai ya banyak orang pingin bikin bioskop. Jangan nanti dilempar bahwa 21 yang atur, 21 sama sekali tidak pernah mengatur tentang itu. Kenapa saya katakan tidak pernah? Setelah 12 tahun saya jadi ketua, dia tidak punya hak apapun.

Bagaimana pendapat Anda mengenai kisruh pajak kemarin?

Pajak ini sebetulnya tidak dikenakan ke bioskop. Hanya bioskop terkena dampak negatifnya. Pajak yang kemarin dihiruk-pikukkan itu kan dari importir ya. Jadi importir itu mengikuti aturan yang ada, sebagaimana yang berwenang melakukan itukan Kemenkeu, Dirjen Pajak. Saya mohon maaf nggak tahu persis, tapi yang saya lihat, ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah, ternyata sudah lama keluar regulasi itu. Kemudian di dalam regulasi itu biasanya ada PP, UU dan Peraturan Menteri yang lebih detil.

Saya tidak tahu persis, tapi mungkin antara misunderstanding atau misinterpretasi. Sehingga waktu itu kan dikatakan, ini mesti bayar sampai 1.000 persen? Ternyata begitu ditelaah nggak, pemerintah juga melihat, "Oh ternyata ini nggak bener." Jadi menurut saya, kita jangan bikin yang aneh-aneh. Ya bolehlah lebih dari atau kurang dari internasional tapi jangan bikin orang internasional kaget. Saya nggak bela dua-duanya, ini misinterpretasi.

Makanya kalau bikin peraturan, bikin peraturan yang bikin orang-orang mengerti. Kalau orang bingung akhirnya cari yang pintar dan itu pasti bayar, ujungnya korupsi ya kan? Memang tarif kita yang lama itu sudah terlalu rendah, di Asia terendah, itu juga nggak bagus, rugi dong negara kita. Akhirnya ada kenaikan dari tarif lama itu 100 persen. Kita tarif biaya masuknya kalau sama Thailand sekarang sudah setara.

Kebetulan saya juga sempat studi banding, termasuk ke laboratorium cetak penggandaan atau copy. Buat ASEAN, Thailand rujukannya. Di sana memang tempat studi buat ASEAN. Laboratoriumnya bagus sekali karena memang Thailand serius di industri itu. Di situ memang ada yang di-hire dari Amerika untuk mengajar. Amerika jalankan operasionalnya 3-4 tahun, kemudian orang Thailand tranformasi teknologi. Setelah itu lepas, tapi under control Amerika. Amerika tidak mau filmnya rusak, mereka jaga kualitasnya. Amerika sudah memberikan rekomendasi untuk Thailand di Asia.

Semua film cuci di situ, sama di Australia. Tapi kan Thailand lebih dekat. Termasuk semua produksi dalam negeri kita semua cuci disitu, baik yang digital maupun seluloid. Kalau di Thailand penuh, ya ke Hongkong.

Apakah di Indonesia sudah ada teknologi seperti itu?

Indonesia ada di Interstudio. Terus ada lagi yang di Pulo Gadung. Cuma Amerika belum merekomendasikan untuk Indonesia. Kalau film kita juga banyak kok yang cetak disini. Nah di situ Amerika menjaga, bahkan oleh US Army, harus tetap tersegel karena takut dibajak kan ya, begitu rusak, Amerika marah lho nggak mau dia. Itu QC-nya udah A1 punya. Nggak saling nyalahin kalau ada yang rusak.

Setelah MPAA menghentikan impor film, apakah bioskop Indonesia mengalami kerugian besar?

Saat itu saya satu-satunya yang mengatakan bioskop akan mati, tutup. Semua orang nggak percaya. Dianggap film ini sama dengan komoditi lain, seperti beras. Tapi yang tutup bukan pengusaha cengeng. Stok cukup menghidupi 3 bulan ke depan. Stok film MPAA itu nggak bisa semua dipukul rata laku. Tapi semua mengatakan, kan ada Perancis, nggak bisa. Saya tahu benar hati nurani masyarakat kita. Selama 3 bulan itu, kami mengurangi jam pertunjukan dari 4 kali menjadi 3 kali. Kalau sampai Lebaran nggak masuk, mungkin separuh layar ditutup dan kami kumpul dengan karyawan dan nangis bareng-bareng. Bioskop itu nggak ada PHK, kita bareng-bareng hidup, bareng-bareng mati. Itu bioskop, karena karyawan kita sudah seperti keluarga.

Ada indikator yang bisa dipakai. Tanya sama Dinas Pendapatan Daerah Jakarta. Pada bulan Januari pendapatan bersih pajak hiburan khusus dari bioskop di Jakarta mencapai Rp3,9 miliar, itu sebelum gonjang-ganjing. Terakhir, bulan Juni hanya Rp1,8 miliar. Nah itu berlaku di seluruh Indonesia, karena biasanya turunnya sama. Pendapatan berkurang 60 persen.

Film MPAA ini kan mengundang orang untuk datang ke bioskop. Sehingga orang tahu itu masih dicabut, dan belum bisa masuk jadi orang enggan datang ke bioskop. Dampaknya film nasional kita juga nggak ditonton orang. Itu menurun drastis sekali, mencapai 100 ribu orang dalam satu bulan itu susah sekali. Tadinya 300 ribu itu mudah. Artinya apa? nggak sampai 10 persen berhasil ke pasar.

Dari sekian banyak film box office, kenapa 'Harry Potter' dipilih sebagai film pertama setelah diperbolehkan impor?

Yang muncul pertama, yang bikin heboh 'Harry Potter' dahulu. Jadi kami ikuti kehendak masyarakat dahulu.

Sesulit apa mendatangkan film 'Harry Potter' ke Indonesia?

Sebetulnya kalau saya lihat, ini proses importir ini sudah 40 tahun lebih. Bung Karno dulu pernah bakar film Amerika. Keluarlah film-film kita kala itu. Nah ini kan terulang dan berproses, sebetulnya tidak ada permasalahan, tapi karena tadinya ada permasalahan pajak dan sebagainya dan itu juga sudah selesai, sudah dipahami seluruhnya. Karena ada satu pajak yang tidak disukai oleh MPAA yaitu PPn 10 persen. Itu yang jadi kendala berat Amerika nggak mau kasih ke kita. Itu sudah dikeluarkan pada Kepmen 102. Saya belum baca semuanya, tapi saya dengar dari Kepmen 102, itu tidak diberlakukan.

Importirnya dua terjerat dengan permasalahan utang di pengadilan, tapi tidak sedahsyat yang diprediksi di awal sampai 1.000 persen dikalikan sekian sampai miliaran, itu nggak. Orang kita kalau sudah sampai di omongan kadang suka dilebih-lebihkan. Tapi kalau sampai di duit bisa kurang jadinya.

Artinya di sini, apa yang diributkan orang di awal, lebih dari separuh tidak benar, tapi ada benarnya. Pemerintah ada kelalaian, importir juga ada kelalaian. Tapi kelalaian itu bukan disengaja mungkin. Makanya saya usulkan lain kali kalau bikin peraturan yang jelas. Hitam putih aja.

Jadi kesimpulannya bahwa ini sudah selesai, dua tersandera, dalam tanda petik diproses hukum. Satu lepas, Amero, dia impor langsung beberapa bulan yang lalu dari Amerika, tapi bukan film MPAA, dia beli film Amerika yang independen. Jadi yang dia beli semacam paket, bisa berisi 5 film, tapi nggak semuanya bagus, ya untung-untunganlah. Ternyata sambutannya nggak terlalu bagus disini. Tapi ada yang bagus juga kadang-kadang.

Tapi kalau film MPAA ini bukan beli. Ini merupakan distributor, yang ditunjuk Amerika pakai sistem hukum kita. Masukin barang harus ada importir, indirect dia jadi distributor juga untuk edar itu film ke bioskop-bioskop. Ketika sudah selesai permalahan itu sudah jelas, akhirnya diputuskan MPAA, "Oke kamu saya kasih film." Saya nggak ingat tanggalnya pokoknya pertengahan bulan lah.

Banyak orang-orang mengatakan ini sudah clear? Sudah. Loh kenapa Omega?  Nah itu ada sendiri permasalahan Omega, jangan dicampur aduk dulu, dia legal, mendapat izin dari pemerintah. Kalau mau salahin, salahin pemerintahnya. Jadi kita harus proprosional dong, kita nggak usah pakai prejudice langsung, apa yang terjadi sampai itu keluar izin. Silahkan, ada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan sebagainya.

Kalau saya berpikirnya seperti itu. Jangan kemudian dikembangkan ke masyarakat, isunya berkembang jadi ke sini. Kita sudah mau mati ini 5 bulan, nggak ada film yang bisa menghasilkan penonton banyak, setelah itu baru diorder. Ditunjuklah Omega oleh MPAA. Action, "Oke kalau begitu Anda ke Thailand, cetak di sana, ada 99 copy untuk Indonesia." Proses kan 4 hari, 5 hari untuk cetak dan itu nggak gampang. Mungkin sebagian dulu dicetak. Perlu waktu juga. Kemudian dikirim masuk ke Indonesia perlu waktu juga untuk transportasi udara.

Perlu waktu juga untuk kantor bea cukai 2-3 hari, bayar, keluar dari situ, langsung ke kantor sensor film perlu 3-4 hari. Itu sudah 2 minggu. Kemudian masuk ke subtitle, itu yang lama. Karena kalau copy-nya banyak mesinnya cuma satu kan bisa jebol mesinnya. Jadi keluar dari situ baru masuk bioskop.

Tapi ini special order, yang kemarin saya tekan, siang malam. Saya bilang, segera dong, jangan dibiarkan kerja sendiri, kalau perlu kawal! Jadi itu betul-betul kejar. Itu betul-betul maksimal waktunya sekitar 2 minggu itu sudah istimewa. Biasanya bisa satu bulan itu semua, nggak bisa dikejar begitu. Dan Indonesia kan nyebarnya luar biasa, bingung lagi ngirimnya kalau kita pakai kargo atau dikirim via travel. Wah bingung lagi, nyampenya bisa beberapa hari ke daerah lain, karena ini 99 copy itu beberapa hari yang lalu kan belum siap seluruhnya.

Akhirnya siap hari Jumat ini, 29 Juli 2011. Tidak dikirim pake kargo untuk di daerah, kirim orang. Untuk memuaskan masyarakat. Makanya serentak seluruh Indonesia, hand carry. Cuma di bioskop yang mana, tentu ada kualifikasi. Kalau di daerah itu cuma ada 1 bioskop, ya pasti dapatlah. Tapi kalau di daerah tersebut ada 3, yang karcisnya cuma 5 ribu kan ada juga tuh, ya itu nanti dulu dong. Logikanya kan yang first run dulu.

Setelah 'Harry Potter', film MPAA apa yang sudah deal dan antre tayang?

Belum ada. Karena saya mengutamakan film nasional, panen setahun sekali. Tanggal 21-25 Agustus itu ada 6 film yang akan naik. Kalau film itu naik, kemungkinan film impor tinggal satu. Jadi mungkin 'Harry Potter' yang masih bertahan, jadi nggak mungkin 'Transformers' masuk karena layarnya terbatas. Tetapi mungkin 'Transformers' masuk, tapi tidak di seluruh Indonesia, dilihat pasarnya. Itu yang saya katakan suplisi, kan ada di UU namanya screen quota, 60 persen untuk film nasional, 40 persen film impor.

Ke depan apa upaya dari para pengusaha bioskop agar bisa bertahan?

Ketika terjadi 'badai', kita harus recovery, kita evaluasi dan kita sehatkan dahulu. Saya rasa kita ambil hikmah. Kemarin itu, bioskop akan mati dengan kejadian itu, tidak main-main. (eh)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya