Lukita Dinarsyah Tuwo

"Target Pertumbuhan 6,5 Persen Bisa Turun"

Lukita Dinarsyah Tuwo
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVAnews - Saat ditemui di kantornya, Gedung Bappenas, Jalan Suropati, Jakarta Pusat, Selasa siang pekan lalu, Lukita Dinarsyah Tuwo baru tiba dari kampus Institut Pertanian Bogor untuk menghadiri sebuah acara. Dengan mengenakan jas warna hitam, ia mengajak kami ke ruang kerjanya, sisi barat Gedung Bappenas.

Prabu Revolusi Jadi Komisaris Kilang Pertamina, Ini Kata Manajemen

Lukita dilantik sebagai Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional setelah 23 tahun meniti karir di Bappenas. Sejak 2005 dia menjabat sebagai Deputi Menteri Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Karir lulusan Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Bandung 1985 ini diawali sebagai Perencana Produksi, Elida Gibbs Division, PT Unilever Indonesia, Jakarta. Pekerjaan ini hanya dilakoni selama dua tahun.

Viral Video Porno Muncul Saat Guru Besar ITB Deklarasi Pemilu Adil

Setelah dari Unilever, laki-laki kelahiran Bandung, 25 September 1961 ini bergabung ke Bappenas. Awal di Bappenas, dia sebagai staf Biro Perencanaan Makro dan Studi Kuantitatif. Setelah 11 tahun di Biro Perencanaan Makro dan Studi Kuantitatif, pada 1998 Lukita diangkat menjadi Direktur Neraca Pembayaran dan Kerjasama Ekonomi Internasional, Bappenas.

Di Bappenas, Lukita meneruskan pendidikan Pascasarjana Economy University of Chicago. Ia lulus pada 1990. Kemudian pada 1991-1992, ia kembali meneruskan pendidikannya untuk meraih gelar master bidang ekonomi di University of Canderbilt, Nashville, USA. Sedangkan gelar PhD ekonominya dia raih dari University of Illionois, Urbana Champaign, USA pada 1998.

Gaungkan Internet Gratis, Ganjar-Mahfud Pamerkan Sat Set Box Karya Mahasiswa ITB

Untuk melihat lebih jauh sosok Lukita beserta program-programnya,  VIVAnews menemui Lukita di kantornya, didampingi Imelda Tambunan, pengurus Ikatan Alumni Teknik Industri ITB. Berikut petikan wawancaranya:

Anda lulusan Teknik Industri. Bagaimana ceritanya bisa membangun karir di Bappenas?

Setelah lulus kuliah, saya masuk ke Unilever bidang perencanaan produksi. Di situ yang saya kerjakan sangat mikro. Ilmu Teknik Industri saya gunakan dari sisi pabrik. Saya menerapkan apa yang saya peroleh di kampus,  saya aplikasikan di pabrik secara nyata dan bagaimana sistem yang ada berjalan baik.

Saya banyak belajar di perusahaan tersebut. Saat itu, suasana di pabrik sangat intens.  Anda melaksanakan apa hari ini, material itu datang kapan, alokasi sumber daya dan material itu dikombinasikan untuk mencapai hasil produksi yang sesuai kebutuhan perusahaan. Pekerjaan lebih pasif dan rutinitas. Kemudian saya berfikir pekerjaan ini tidak cukup menantang. Lalu saya pindah ke Bappenas. Saya melihat banyak sekali hal yang baru, karena memang di sini orang melihatnya lebih ekonomi. Kebetulan bos saya waktu itu juga engineer. Dia juga menggabungkan pengetahuan tentang teknis teknologi. Hanya orang-orang teknis sering lupa aspek ekonomisnya itu tadi. Ini satu keuntungan. Namun untuk itu saya harus belajar ilmu ekonomi.

Kedua ketika ditanyakan apa yang sangat bermanfaat dari kuliah di Teknik Industri kemudian ke Bappenas,  menurut saya berfikir sistematis. Berfikir sistem itu membuat saya bisa melihat permasalahan dengan memotret dari atas dulu, sebelum saya masuk kedalamnya. Mencoba memadukan, melihat masalah itu dari berbagai aspek, kemudian mencari solusi dari masalah. Ini saya kira yang selalu saya terapkan secara tidak sadar dari yang saya peroleh, karena saya diajarkan berbagai macam tadi. Saya diajarkan mengenai Teknik Industri, kemudian aspek psikologi sosial, psikologi industri, mesinnya aja, segala macam ada, tapi yang tadi optimalisasi. Yang diajarkan untuk membuat logika berfikir kita secara luas, berbagai aspek sumberdaya yang harus di integrasikan untuk mencapai tujuan.

Sebagai Ketua alumni Teknik Industri ITB, apa program kerja Anda ke depan?

Saya kira memperkuat para alumni ini pada akhirnya alumni-alumni yang berkiprah di berbagai bidang, kami akan mendorong mereka memberikan kontribusi ke negara. Kami melihatnya alumni Teknik Industri ini berkiprah di berbagai tingkatan, baik itu pemerintah pusat, daerah, profesional maupun swasta. Bidangnya sudah meluas dari berbagai  sektor.  Kami melihat ini adalah sebuah kekuatan, lebih ditingkatkan melalui forum kebersamaan sekaligus membangun  jaringan yang positif.

Dalam kerangka visi yang seperti itu maka kami menyusun program kerja yang dimulai  dengan pembenahan internal. Berkaitan dengan penguatan internal itu, organisasi meningkatkan hubungan silaturahmi dengan alumni,  Ada dua  aspek disitu, pertama membangun database. Alumni Teknik Industri yang berjumlah sekitar 3.000 orang dari angkatan pertama.  Kami ingin membangun data base secara baik.

Kedua meningkatkan kepedulian para sesama alumni. Ketiga meningkatkan kemampuan profesi, kami melihat ada alumni-alumni Teknik Industri yang sudah maju dalam posisi yang baik, bisa mendukung alumni lain yang masih memerlukan bantuan.

Dari sisi penggalangan dana, kami menyediakan beasiswa. Hal ini agar memberikan kontribusi ketika mereka mengikuti kegiatan yang bersifat akademis, apakah itu kompetisi-kompetisi internasional. Pada akhirnya kami coba menggali sumber-sumber pendanaan supaya organisasi ini menjadi sustainable, karena niatnya  dari yang luhur tadi, kami tidak ingin berhenti dari satu kepengurusan ke kepengurusan yang lain.

Lalu program eksternal kedua adalah hubungan antara alumni TI dengan berbagai alumni lain apakah yang di ITB.

Dari data yang ada hingga saat ini, kiprah alumni Teknik Industri TTB di mana saja?

Saya bisa katakan sudah merambah kemana-mana. Makanya, dari sisi data base masih lemah. Dari sisi apa yang saya ketahui, ada yang di DPR, ada Pak Kuntoro Mangkusubroto (UKP4), ada juga Deputi Senior Bank Indonesia Sarwono, pengusaha-pengusaha, banyak sekali. Ada juga di lembaga sosial, di Singapura. Kalau dari sisi yang saya ketahui sudah mulai dari politik, pemerintahan, sosial, apalagi pengusaha, sangat banyak.

Dikaitkan dengan rencana pembangunan jangka panjang, seberapa banyak peluang dari lulusan Teknik Industri?

Saya berikan sedikit gambaran apa yang ingin dibangun bangsa ini jangka panjang. Sampai 2025, presiden mencanangkan MP3EI dan PPP, dua dokumen itu intinya untuk maju. Nah dari sisi angka yang ingin di capai dalam MP3EI adalah pendapatan perkapita yang sekarang pada US$3.400 menjadi US$15.000 perkapita.

Dari sisi size ekonomi Indonesia maka kami ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang sekarang sekitar pada tingkatan 17 besar dunia menjadi 12 besar dunia. Itu ditargetkan 15 tahun dari sekarang. Untuk mencapai itu kita perlu membangun daya saing dan membangun ekonomi Indonesia tidak hanya di Jawa tetapi juga di pulau-pulau besar, di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, Maluku, harus kita buka pintu gerbang-pintu gerbang lain di Indonesia.

Intinya di sana adalah meningkatkan nilai tambah sumber daya yang kita miliki dengan membangun industri-industri, dengan kata kunci seperti itu kita lihat ada sebuah peran penting dari Teknik Industri itu masuk kesana. Pertama, teknik industri di dalam  diajarkan pemahaman mengenai pentingnya membangun sistem. Sistem apapun, sistem industri, sistem sosial, jadi karena ini kemudian mengarah kepada suatu produktifitas yang tinggi. Kita tahu produktifitas yang tinggi akan menentukan daya saing.

Dari sisi pemerintah misalnya saya melihatnya dari sisi sistem tadi. Sayamelihat secara luas, bagaimana sistem itu harus dikembangkan secara lebih luas. Makanya saya bilang, kesempatan profesi TI yang kaitannya mendukung rencana visi bangsa Indonesia di 2025 di berbagai sektor. Misalnya tetap saja ada satu sistem membangun agar lebih optimal. Kami juga menginginkan karena diajarkan dari berbagai aspek perindustrian,  diajarkan menjadi wirausaha, jadi tidak hanya menjadi pegawai tetapi dia menciptakan peluang-peluang usaha.

Jadi dasar-dasar di Teknik Industri bisa masuk ke semua sektor?

Iya kan. Kalau kita lihat, memang sangat spesifik. Itu kita butuhkan juga karena kita butuh pengembangan inovasi di dalam konteks pembangunan yang lebih luas tadi. Saya melihat khusus untuk pengembangan itu profesi Teknik Industri ini bisa melihatnya secara luas langsung bagaimana bisa mengintegrasikan keahlian-keahlian tadi secara bersama-sama.

Terkait isu aktual, apakah krisis global yang terjadi saat ini mengkhawatirkan Indonesia? Apalagi bila dibanding krisis ekonomi tahun 2008. Apakah saat ini lebih aman atau sebaliknya mengkhawatirkan?

Krisis global sekarang sebetulnya terjadinya di negara-negara maju yang selama ini menjadi sumber permintaan ekonomi. Itu sisi yang mengkhawatirkan, China, India, sebagai negara emerging economy pun mereka pasarnya di sana. Tapi dari sisi domestik, kita belajar dari pengalaman krisis 1998 dan 2008. Ketika krisis 2008 kita sudah dalam posisinya lebih kuat kalau kita bandingkan dengan tahun 1998. Keuangan kita lebih kuat, yaitu membangun suatu sistem keuangan dan kita selalu berhati-hati didalam melakukan perencanaan.

Perencanaan keuangan, taruhlah kita krisis, yang selalu kita jaga debt to GDP ratio. Kalau kita lihat apa yang terjadi di -Amerika, Yunani. Kalau yang sekarang itu bukan pada lembaga finansial. Sedangkan yang kemarin krisis itu terjadi pada lembaga finansial, yaitu waktu tahun 2008. Sekarang yang mengkhawatirkan justru di tingkat pemerintah. Pemerintah ini mempunyai debt to GDP ratio yang tidak sesuai dengan kemampuan.

Karena mereka mempunyai program-program  yang saya kira untuk masyarakat tetapi kemudian tidak umum yang bisa berdampak kepada finansial institutions, karena mereka membeli surat-surat berharga milik pemerintah. Nah kalau pemerintah ini nggak sanggup bayar, otomatis mereka akan kena, kolaps juga. Itu bedanya. Yang sekarang itu krisis pemerintahnya.

Nah kalau kita kembali bagaimana kondisi Indonesia, kita belajar lembaga keuangan kondisinya lebih aman. Kalau kita lihat CAR (capital adequacy ratio) dan sebagainya kita dalam kondisi lebih baik. Kemudian dari sisi pemerintah, dilihat dari makro ekonomi, kita dalam kondisi yang lebih baik, debt to GDP Ratio sekarang dibawah 25 persen. Sementara Yunani sampai 160 persen, Amerika di atas 100 persen, Negara-negara Eropa di atas 60 persen. Kita sekitar 24 persen. Kondisi makro ekonominya yang lain juga saya kira baik.

Lalu yang ketiga, eksposure Indonesia ke barat itu relatif kecil dibanding dengan negara-negara tetangga. Kontribusi ekspor impor kita kira-kira dibawah 30 persen, sehingga kita memang domestik market kita yang kuat. Jadi dari kondisi ini makanya selalu di berbagai media pemerintah mengatakan kita kondisinya aman, tenang saja. Kita mengharapkan janganlah sampai terjadi krisis lagi karena ini adalah momentum buat Indonesia yang sekarang sedang tumbuh di level 6,5 persen, kita ingin naik ke tujuh persen.

Kalau terjadi krisis bagaimanapun ini akan meredam potensi pertumbuhan ekonomi yang 6 sampai 7 persen. Ini kita harapkan ada satu komitmen bersama terutama di negara-negara maju untuk menyelesaikan permasalahan mereka diantara mereka sendiri agar tidak berpengaruh pada ekonomi dunia.

Ada potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terpengaruh?

Kalau sampai terjadi krisis global, potensi itu ada. Makanya kita harus melakukan langkah-langkah terobosan dan tidak biasa. Kalau kita melangkah seperti biasanya, maka pertumbuhan 6,5 persen itu bisa turun. Apa langkah-langkah terobosannya, yaitu upaya yang lebih baik dan efisien dan tidak biasa, mengatasi korupsi, masalah birokrasi, masalah koordinasi. Bayangkan dengan permasalahan yang masih kita hadapi itu kita bisa tumbuh. Kalau kita bereskan saja isu mengenai komunikasi, biaya yang mahal dan birokrasi yang masih bermasalah, akan lebih bagus lagi.

Kita bisa mengatasi hambatan potensi yang tadi masalah itu, karena sekali lagi kita harus tidak biasa. Coba saja misalnya pelabuhan kalau pelabuhan kita perbaiki maka lebih efisien. Ini mengenai dalam negeri. Luar negeri memang tidak bisa kita abaikan, tapi luar negeri itu sekarang sangat melihat Indonesia. Kalau Indonesia bisa mengatasi hal itu, mereka akan berusaha masuk, karena diluar sedang nggak bagus. Mereka pasti akan lari kesini. Kita kan punya market yang besar 240 juta. Itulah bagaimana kita membangun infrastruktur yang cepat, efisien, lebih baik kita tahu akan naik, Rp9.000 ya Rp9.000 tapi jangan naik turun.

Perlu kebijakan fiskal seperti 2008?

Justru kebijakan fiskal kita yang paling penting kita dorong sekarang adalah pengefektifan atau mengefisienkan anggaran mengenai distribusi dan alokasi belanja pegawai yang terlalu tinggi dari belanja barang. Karena kita tetap mengarah kepada bagaimana kita mengamankan jangan sampai fiskal itu menjadi terbebani oleh utang pemerintah, dan kita juga berusaha untuk tetap menjaga posisi defisit yang lebih baik. Artinya apa dari sisi penerimaan, pajak itu harus tetap ditingkatkan karena potensi itu masih ada, bukannya kita mau ekstensivikasi tetapi lebih kepada intensifikasi, mendorong orang seharusnya membayar sehingga membayar, bukan menambah orang yang tidak harus bayar. kita ingin orang yang harus bayar sekian ya harus bayarnya sekian, itu dari sisi penerimaan.

Lalu kita ada yang bisa gali misalnya PNBP dari royalti pertambangan. Kalau dari sisi pengeluarannya, itu harus kita perbaiki alokasinya. Daerah itu banyak sekali pengeluaran yang larinya lebih ke belanja pegawai. Kebutuhan sendiri bukan untuk pelayanan. Kemudian di pemerintah pusat sampai tahun kuartal ke-3 levelnya masih jauh dibawah. Ini yang bisa mendorong perekonimian. Ini saya kira mengenai kebijakan fiskal seperti 2008 misalnya fiskal stimulus dan lainnya belum kita butuhkan.

Isu penyerapan dari tahun ketahun selalu seperti ini?

Sebetulnya upaya perbaikan itu mulai bertahap dilakukan. Dari sisi penyerapan, sering kali kalau kita lihat terutama dari proses pemahaman pengadaan prosedur pengadaan daerah. Jadi ini kaitannya dengan pelaku yang mereka mempunyai kekhawatiran-kekhawatiran dan juga pemahaman-pemahaman dari aparat penegak sendiri. Kedua adalah kapasitas perencanaan proyek. Jadi kalau perencanaan proyek yang baik sudah bisa secara baik disiapkan proyek itu. Apakah misalnya isu pengadaan, SDM nya, ini juga adalah bukan suatu proses yang bisa dilakukan seketika.

Nah ada juga kejadian di lapangan yang di luar perencanaan. Misalnya dalam proses pengadaan tiba-tiba ada sanggah, proses sanggah, yang masa lalu proses sanggah itu tidak ada batasan waktu, baik juga orang yang melakukan sanggah bisa menyanggah saja. Akibatnya proses bisa terhambat. Kalau sekarang kita sudah tetapkan kalau dia menyanggah, akibat orang menyanggah itu bisa menghambat pengadaan selain juga perencanaan.

Kalau dari sisi dana yang mengalir intinya sudah lebih besar dari pada realisasi karena sudah sering kali kontraktor itu secara fisik dia progresnya lebih besar dari pada uang yang dicairkan. Kenapa karena dia sering kali dia sudah melakukan pembangunan dengan uangnya dia. Jadi secara fisik kalau kita lihat progres pembangunan sebetulnya jalan sudah 75 persen selesai, uang yang ditarik baru 45 persen. Ini karena dia pakai uang sendiri. Tapi itu bukan praktek yang betul. Kami harapkan gap-nya tidak sampai sejauh itu. Gap paling banyak sekitar 15 persen masih wajar. Nah ini yang mencoba kita perbaiki, sehingga seperti tadi saya sampaikan, bisa muncul masalah klasik lagi.

Kalau KPK makin kencang kan makin takut?

Ini pemahaman bersama. Dari sisi birokrasi jangan sampai aparat yang menegakkan juga membuat langkah yang bikin takut karena mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap aturan itu. Ini saya hadapi juga. Misalnya kita diaudit, Bappenas selalu mendapatkan WTP (wajar tanpa pengecualian), tapi memang tidak mudah karena memahami satu peraturan kadang-kadang ada persepsi yang berbeda. Ini memang bisa membuat takut dari pelaksana, dia punya pemahaman seperti ini ternyata pihak lain melihat itu melanggar.

Infrastruktur adalah sebuah kelemahan, dan porsi APBN sangat kecil. Bagaimana cara menggenjotnya?

Pemerintah menyadari hal tersebut. Sebetulnya porsi anggaran setiap tahun meningkat dan tahun ini termasuk yang paling tinggi. Namun dibandingkan sebelum tahun 1998, jumlahnya masih dibawah, karena ketika kita mengalami krisis 1998  itu kita mengalami situasi dimana kemampuan kita membangun infrastruktur itu tidak jalan. Nah untuk mengejar itu kan memerlukan akselerasi.

Wawancara ini merupakan Kerjasama VIVAnews dengan Ikatan Alumni Teknik Industri ITB.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya