Mantan Gubernur Jakarta Fauzi Bowo:

"2025 Jakarta Tenggelam Jika Tak Ada Tanggul Raksasa"

Mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Hujan deras sepanjang hari melanda Ibukota pada Rabu pekan lalu. Sontak, banjir pun terjadi di mana-mana. Cipulir di Kebayoran Lama terendam. Jalanan ke Cileduk terputus. Daerah langganan banjir Kampung Pulo, Jakarta Timur, juga terendam hingga tiga meter. 

Berpengalaman di DPR, Sumail Abdullah Dinilai Berpotensi Maju Pilkada Banyuwangi

Di jalan protokol, seperti Jalan S. Parman, tepatnya di depan Universitas Taruma Negara, bah juga menggenang. Kemacetan panjang tak terelakkan.

Di satu restoran di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat 3 Mei, VIVAnews mewawancarai Fauzi Bowo. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini bercerita banyak pengalamannya mengelola banjir kala ia menjabat. Berikut petikannya:

Sektor Manufaktur RI Jauh dari Deindustrialisasi, Ekonom Beberkan Buktinya

Penanganan banjir di Jakarta saat Anda menjabat dulu bagaimana?

Kontur Jakarta itu di bawah permukaan laut. Air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Mau tak mau, ini satu gejala alamiah. 

Mak Vera Tepati Janji, Datang ke Makam Olga Syahputra Tengah Malam

Pada saat saya menjabat, saat turun hujan ada dua skenario. Pertama, kalau hujan cuma di wilayah atas, dalam hal ini Bogor dan Depok, kami memiliki beberapa situ dan polder, penampungan air buatan sebagai resapan.

Kedua, bila hujan terjadi di semua tempat, termasuk di laut. Kalau seperti ini, serbuan air tak cuma terjadi dari Bogor, tapi juga dari laut. Air rob, namanya. Karena secara topografi permukaan tanah di Jakarta sudah lebih rendah. Apalagi di wilayah Barat ada yang tiga meter di bawah air laut, tentu saja air laut mudah masuk.

Kalau sudah seperti ini ada teorinya. Air dipompa ke laut melalui satu pintu air ke pintu air secara bertahap, lalu dibuang ke laut. Nah, pintu ini yang harus selalu dijaga, termasuk juga waduk dan poldernya. Dengan demikian kalaupun terjadi banjir dampaknya bisa diminimalisir.

Sebegitu pentingnya penjaga pintu air, Anda punya kontak penjaga pintu air di seluruh Jakarta?

Tak cuma punya kontaknya. Saya hafal penjaga satu dan penjaga lain. Saya sering koordinasi dengan mereka. Terutama saat hujan deras. Saya memastikan mereka tidak mangkir dari pekerjaannya. Mereka memang orang kecil, tapi saya hormati mereka. Karena pada saat tertentu peran mereka sangat penting.

Nasib Jakarta saat ini tergantung penjaga pintu air. Maka saya sebagai pimpinan harus menghargai yang membantu saya memfungsikan pintu air ini. Jadi, semua simpul-simpul penjaga air itu saya perhatikan.Mengelola banjir itu butuh manajemen. Kami tak cuma mengatur Jakarta, tapi juga mengatur manajemen air untuk meminimalisir dampak banjir.

Jadi Anda punya semacam ruang monitor untuk menjaga pintu air,  seperti di Traffic Management Center milik Polda Metro Jaya?

Ada... di Dinas Pekerjaan Umum ada. Tapi tidak selengkap yang di TMC. Selain itu saya kira pengalaman juga ikut menentukan. Curah hujan itu kan tidak mendadak, pasti ada prediksinya. Ada prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi. Jadi, begitu kejadian atau sebelum kejadian, saya harus memastikan sistem pengelolaan air sudah siap.

Ahok bilang banjir Jakarta itu karena sabotase. Bagaimana pendapat Anda?

Ada berapa pompa air di Jakarta? Jumlahnya ratusan. Ada yang kecil ada yang gede. Pintu air juga sama itu jumlahnya ratusan. Mau disabotase oleh siapa? Kecuali kalau semuanya sepakat.

Ini juga ada bendungan-bendungan yang bukan cuma dibuat pemerintah, tapi masyarakat. Bendungan itu ada yang dikelola Pemda DKI dan ada yang dikelola pemerintah pusat.

Menangani banjir itu ada teori matematikanya. Ibaratnya, air dari wilayah atas itu 100 persen masuk Manggararai. Semua dipecah. Ada yang 50 persen dan ada yang sekian persen.

Nah, bila salah satu pintu air ini telat membuka atau telat menutup ini akan mempengaruhi tekanan di jalur lain. Kalau tanggulnya tidak kuat, bisa jebol.  Makanya, ini perlu manajemen yang benar.

Maksud Anda manajemen seperti apa?

Di Jakarta ini ada Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, lembaga milik Pemerintah Pusat. Itu harus ada koordinasi dengan Gubernur.

Ciliwung itu kewenangan Pusat, tapi harus  sejalan dengan Pemda. Pemerintah Pusat memang punya uang, tapi tidak boleh sembarang mengeruk. Harus dikoordinasi dengan baik.

Coba Anda bayangkan, bila satu bagian Pemerintah Pusat dikeruk, dan ada bagian lain yang milik Pemda belum dikeruk karena tak ada uang. Pasti percuma ngeruknya. Saat Pemda punya uang dan mengeruk, hasil kerukan Pemerintah Pusat sudah ada sedimentasi.

Ini alasan mengapa kemarin ada pemikiran Pusat dan Daerah mau pinjam ke Bank Dunia untuk mengeruk beberapa sungai. Ini pinjamannya gak banyak. Tapi uang itu harus tersedia pada saat yang diperlukan, baik oleh pusat maupun oleh daerah.

Banyak waduk dan polder yang disalahgunakan, misalnya jadi perumahan, bagaimana tanggapan Anda?

Memang betul seperti itu. Salah satu waduk besar itu adalah Waduk Pluit yang langsung dipompa ke laut. Ini harusnya waduknya dalam dan luas, tapi ini ada endapan dan kapasitasnya berkurang. Terus di pinggiran waduk sudah ada rumah. Mereka harus dibersihkan.

Dalam program kerja kami waktu itu sudah ada programnya. Waduk Puit seluas 88 hektare kini tinggal 60 hektare yang berair. Semuanya sudah jadi rumah. Tidak ada yang kasih izin.

Zaman dulu memang ada kesalahan pemerintah. Tapi saya tak menyalahkan pemerintahan yang dulu lah. Ini tugas yang harus diselesaikan. Makin cepat makin bagus. Waktu zaman krisis moneter, Walikota Jakarta Utara, Pak Prawito, kasih izin kepada orang-orang untuk membangun rumah di sekitar Waduk Pluit untuk dibangun usaha.

Tapi itu tidak perlu dipermasalahkan. Hanya perlu diselesaikan. Namun, perlu penggusuran. Kalau ada penggusuran pasti yang disalahkan pemerintah. Padahal tempat itu asal muasalnya tempat air.

Penanganan banjir ke depan menurut Anda bagaimana?

Curah hujan sudah kerap jauh lebih banyak dari umumnya. Ini menjadi pekerjaan rumah berikutnya. Ini yang bikin kami agak kewalahan. Tidak bisa cuma dipompa dan dibuang ke laut.

Semua harus dihitung kapasitasnya. Kapasitas waduk, kapasitas polder, dan kapasitas pintu air. Kalau sudah seperti ini Jakarta pasti terendam. Itu sebabnya kami dulu bangun Kanal Banjir Timur.

Dulu Belanda bikin Kanal Banjir Barat. Rencana berikutnya Kanal Banjir Barat harus lebih ke barat lagi, seperti Kanal Banjir Timur itu. Jadi, masuknya air Jakarta itu dari Kanal Banjir Barat. Kanal Banjir Timur sementara baru bisa menampung lima kali. Kali Ciliwung belum. Itu sebabnya harus dibangun satu saluran lagi. Ini menjadi pekerjaan rumah berikutnya. 

Prinsip kanal banjir itu seperti jalan tol. Ada lingkar luar, ada lingkar yang lebih luar lagi. Misalnya tol dalam kota sekarang dibangun lagi outer ring road. Sekarang sudah ada lagi outer outer ring road. Jadi jika ada arus yang sangat tinggi tak perlu masuk Jakarta. Bisa dialihkan lewat outer ring road.

Air juga seperti itu. Nah ini yang belum nyambung. Kanal Banjir Timur baru bisa menampung Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Jatikramat, Kali Cakung, dan Kali Buaran.

Harus ada sodetan?

Iya sodetan. Itu yang belum ada. Karena ada perbedaan ketinggian tanah antara Kanal Banjir Timur dengan Kali Ciliwung. Pompanya belum ada. Tidak bisa dipompa kalau tidak ada waduk.

Waduk dibangun di sekitar Kampung Melayu?

Dulu ada beberapa usulan. Tapi saya tidak tahu berkembang ke arah mana.

Waktu itu rencananya kapan?

Kami belum bisa pastikan kapan waktunya. Yang jelas ini satu keharusan. Sodetan ini sudah tak bisa kompromi lagi. Ini cukup serius karena ada peningkatan permukaan air laut dan perubahan cuaca. Jadi berapa pun kapasitas waduk, Jakarta pasti akan tergenang.

Itu sebabnya kami juga mengusulkan bikin tanggul raksasa. Karena ada pelabuhan Tanjung Priok, jadi  harus ada jalan kapal masuk. Itu harus dikasih jalan. Apabila itu tidak dikerjakan, maka pada 2025 Jakarta bisa tenggelam. Mungkin bisa terendam tiga meter. Itu bukan omongan saya, itu kajian para ahli.

Ada satu keuntungan satu lagi dari tanggul raksasa. Air di sekitar tanggul jadi tawar. Ini bisa jadi sumber air bersih Jakarta. Jumlahnya tidak sedikit. Jadi daripada dibuang bisa diolah lagi jadi sumber air bersih Jakarta.

Giant Sea Wall ini idealnya dibangun tahun berapa?

Kalau mau kapan-kapan juga boleh. Tapi, kalau robnya datang tahun 2025, ya  kejadian. Jadi, jauh sebelum itu harus sudah dibangun.

Kalau deep tunnel bagaimana?

Idenya sudah lama ada. Dulu saya tertarik karena ada swasta yang mau bangun. Tapi dapat duitnya dari mana, itu yang masih dipikirkan. Harus diingat, ini tidak hanya persoalan membangun saja, tetapi juga pemeliharaannya harus dipikirkan. Terowongan ini kalau sudah dipakai musim hujan membersihkannya lama. Itu bukan air saja, tapi lumpur.

Anda yakin banjir di Jakarta bisa diatasi?

Kita harus yakin banjir bisa diatasi. Belanda itu lokasinya sekitar 15 meter di bawah permukaan laut. Dan mereka bisa mengelola banjir dengan baik selama bertahun-tahun. Kenapa kita yang hanya tiga meter di bawah permukaan laut tidak bisa?

Setelah tidak jadi Gubernur, Anda sepertinya ngumpet. Anda sebenarnya tinggal di mana?

Ya, di Jakarta. Emang saya punya kampung? Kampung saya kan Jakarta.

Ada kabar Anda sering tinggal di Jerman. Apa betul?

Saya itu anggota Indonesia - German Advisory Group (IGAG). Bagaimana saya kerja kalau tidak sering di Jerman?

Di Jakarta saat ini apa kegiatan Anda?

Banyak. Yang jelas sekarang saya sedikit lebih longgar. Saya bisa jogging lebih lama.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya